Oleh Dian Marta Wijayanti
Penulis
adalah Penulis Buku, Alumni SMA Negeri 1 Blora
Rasanya seperti diguling-guling dan diremas-remas. Mata pun seakan tak
mampu berkedip untuk tetap siaga memperhatikan kanan dan kiri. Batu-batu besar
seakan tak punya malu memunculkan wajahnya. Dengan berani batu-batu itu melawan
aspal yang hanya sedikit menempel dalam waktu yang singkat. Aspal yang tinggal
kenangan itu kini tergantikan oleh batu-batu dan tanah kusam yang mampu
mengocok setiap pengendara yang melewati jalan tersebut.
Berikut hanya sedikit gambaran jalan menuju desa terpencil nan damai di
tengah hutan yang diberi nama desa Nglebak kecamatan Menden Kabupaten Blora.
Yups, secara geografis desa ini memang masih termasuk kabupaten Blora. Namun
siapa sangka kalau masyarakat di desa tersebut lebih mengenal kota Ngawi
daripada kota Blora. Bahkan sebagian besar dari mereka belum tau apa itu Blora.
Mereka hanya tau beridentitas penduduk Blora.
Namun ketika ditanya bagaimanakah Blora itu? Mereka hanya mampu
menjawab “Saya lebih mengenal Ngawi daripada Blora”. Maklum saja, secara
geografis kabupaten Ngawi memiliki jarak lebih dekat daripada kabupaten Blora.
Pengaruh budaya Jawa Timur bagi mereka pun lebih kental daripada budaya Jawa
Tengah.
Bahkan kehidupan sehari-hari mereka lebih dekat pada kehidupan rakyat
Jawa Timur-an. Sedikit contoh betapa dekatnya mereka dengan kota Ngawi adalah
ketika penduduk desa Nglebak membeli kendaraan baik itu sepeda motor, mobil
ataupun truk. Mereka lebih memburu plat nomor “AD” daripada “K”. Bahkan mereka
siap untuk menyewa KTP teman mereka yang tercatat sebagai penduduk Ngawi agar
mendapatkan plat “K”.
Cara hidup yang ada disini pun masih tergolong unik. Jika disebagian
wilayah rasa kekeluargaan tinggal sebuah cerita. Berbeda dengan yang terjadi di
Desa Nglebak Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora. Hampir satu desa adalah
bersaudara.
Dengan kata lain mereka menganggap semua masyarakat sebagai saudara.
Saling tolong-menolong adalah suatu keharusan yang tak perlu meninggikan
imbalan. Seperti contoh ketika ada salah satu anggota masyarakat yang mempunya
kerja misal nikahan, khitanan, maupun syukuran bayi. Keluarga yang mempunyai
kerja tidak perlu satu persatu memberikan undangan ataupun seserahan nasi kotak
kepada masyarakat lainnya untuk mengundang kehadiran.
Cukuplah sebakul nasi putih, seplastik ukuran 1 kg sayur opor, dan
bumbu-bumbu sederhana lainnya dikirimkan kepada perangkat dan sesepuh desa,
masyarakat disini menyebutnya “munjung”. Munjung biasanya dilakukan oleh
seorang lelaki yang sudah cukup dewasa dengan menggendong makanan yang sudah
disiapkan tadi kepada keluarga yang dipunjung(perangkat dan sesepuh desa”.
Cara memberikannya pun tergolong unik. Lelaki yang munjung tadi
mencari pemilik rumah(dikhususkan kepada keluarga/ yang ditetuakan) kemudian
duduk di bawah sambil memegang tangan yang punya rumah, dengan kata-kata lirih
menyampaikan pesan dari siapa dan untuk acara apa punjungan itu
diberikan. Setelah pemilik rumah menerima, barulah pengirim punjungan pulang ke
rumahnya.
0 comments:
Post a Comment