Semarang, Harianblora.com – Beberapa organisasi dan LSM menggelar aksi “Menolak
Lupa Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Jawa Tengah” pada 10 Desember 2014.
Mereka tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Hak Asasi Manusia (GERAM) yang
terdiri dari LBH Semarang, Satjipto Rahardjo Institute, LRC KJ-HAM, eLSA Semarang,
Hysterria, LBH Apik, FIAT JUSTICE,
PERMAHI, SETARA, KP2KKN, KPI,
ARGAJALADRI, FORPAS, PSHT, UNISULA, KOPRI, HMI MPO, NEBULA, PMII UIN Walisongo,
SEKARTAJI, PBHI, PATTIRO, GMNI, RBSS, Teater TEMIS dan Teater TIKAR.
Menurut rillis penyelenggara, 10 Desember bukanlah sakedar penanda,
dengan apa yang disebut sebagai “kemanusiaan” itu dipertaruhkan melalui satu
jargon yang tidak akan pernah mati: Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan atas HAM,
adalah jaminan dari suplai legitimasi negara atas individu-individu maupun
kelompok-kelompok manusia yang berada dalam satu ruang lingkupnya. Dengan
demikian Indonesia, dengan berbagai perangkat instrumen peraturan (dari UUD
1945, UU 10/2005, UU 11/2005, UU 7/1984 dan sebagainya) maupun secara
teleologis pada dirinya dalam klaimnya sebagai negara yang berdaulat memiliki
kewajiban mutlak dalam rangka pemenuhan, pemenuhan, dan perlindungan (to
respect, protect, fulfill) atas HAM.
Namun apa yang terjadi dilapangan masih jauh dari asap dari panggang,
HAM hanya menjadi ujaran yang boros digunakan tanpa adanya satu niatan yang
sungguh-sungguh untuk diimplementasikan dalam satu nafas kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hal ini ditunjukkan melalui tingginya angka-angka pelanggaran
HAM, baik melalui tindakan langsung maupun tidak langsung dari negara (Ommision
& Commission).
Pertama, Tidak Beresnya Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu Hingga kini negara
tidak menunjukkan adanya niatan serius untuk melakukan penyelesaian maupun
mengagas satu bentuk rekonsiliasi khususnya terhadap peristiwa Tragedi G 30 S
1965/1966 yang oleh Sarwo Edhi katakan telah memberangus baik nyawa maupun
kemerdekaan sebanyak 3 juta orang. Negara beserta aparatusnya justru terus
menerus mereproduksi kebencian dengan menebarkan ketakutan dan fobia tanpa arti
akan hantu Komunisme lewat pemelintiran sejarah.
Kedua, Masih Timpangnya Keadilan Gender Data Termutakhir dari Catatan
Komnas Perempuan menunjukkan angka kejahatan terhadap perempuan sebesar
279.688. Angka tersebut menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun
ketahun serta tak terhitung kasus-kasus yang tersembunyi dibalik permukaan
gunung es. Dari jumlah tersebut Jawa Tengah termasuk dalam tiga besar provinsi
dengan tingkat Kekerasan Terhadap Perempuan tertinggi. Pada tahun 2014 saja
LRC-KJHAM mencatat ada 632 perempuan yang menjadi korban. 14 perempuan korban
meninggal dunia, 3 meninggal karena kasus KdRT, 7 meninggal karena kasus KdP, 2
karena kasus perkosaan, 1 korban karena kasus Buruh Migran dan 1 kasus korban
meninggal karena prostitusi.
Ketiga, Masih Tingginya angka Korupsi;Kesejahteraan ekonomi adalah satu
bentuk pemenuhan HAM bagi rakyat banyak. Namun para oknum berseragam telah
merampoknya untuk menggelembungkan dompet pribadi. Catatan termutakhir dari KPK
menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2013 telah terjadi 1391 laporan gratifikasi
dan 70 perkara Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan 59 Tersangka dan 70
Instansi.
Keempat, Quo Vadis Reforma Agraria dan Keadilan Ekologis Masih timpangnya
pemahaman mengenai lingkungan, terutama pada masyarakat adat dan pedesaan dalam
hal pertemuanya dengan modal-modal besar yang melibatkan dentum bising
alat-alat berat. LBH – Semarang mencatat dari 2011-2014 terdapat lebih dari 50
kasus agraria dimana beberapa diantaranya melibatkan kekerasan fisik yang
dilakukan oleh oknum aparat negara. Hal ini menunjukkan kegagalan negara dalam
mengimplementasikan semangat reforma agaria puluhan tahun yang lalu.
Kelima, Belum selesainya persoalan intoleransi, Hak untuk berkeyakinan
merupakan hak asasi yang paling asasi yang telah dijamin oleh konstitusi.
Namun, saat ini kondisi jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan
di Indonesia kian memprihatinkan. Sejumlah permasalahan terkait pelanggaran hak
atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, bukan semata-mata persoalan
meningkatnya intoleransi yang menyebabkan pelanggaran terus terjadi, tetapi
dalam sejumlah kasus justru aparat negara baik di tingkat nasional maupun lokal
terlibat atau mendukung pelanggaran tersebut.
Berdasarkan catatan Lembaga Studi
Agama (eLSa) setidaknya ada 10 kasus bernuansa agama baik vertical maupun
horizontal yang terjadi di Jawa Tengah pada rentang 2014 ini, sementara
kasus-kasus lama masih jg belum terselesaikan.
Berdasarkan poin-poin diatas, kami, warga Semarang yang terdiri dari
berbagai latar belakang baik LSM, LBH, akademisi, praktisi, mahasiswa, seniman,
dan lain sebagainya yang menggabungkan diri dalam Gerakan Rakyat Untuk Hak
Asasi Manusia (GERAM) untuk memperingati Hari HAM Sedunia mengajukanDarurat HAM
dan mendesak kepada negara untuk segera melaksanakan enam tuntutan sebagai
berikut:
Pertama, Menuntut keseriusan negara untuk segera melakukan tindak lanjut Pelanggaran Berat HAM masa lalu dalam segala tahap dengan melibatkan baik Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Presiden, DPR dalam hal penyelenggaraan pengadilan ad hoc, serta segera menggagas program rekonsiliasai nasional terutama pada perkara G 30 S 1965.
Pertama, Menuntut keseriusan negara untuk segera melakukan tindak lanjut Pelanggaran Berat HAM masa lalu dalam segala tahap dengan melibatkan baik Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Presiden, DPR dalam hal penyelenggaraan pengadilan ad hoc, serta segera menggagas program rekonsiliasai nasional terutama pada perkara G 30 S 1965.
Kedua, Menuntut keseriusan negara untuk segera membatalkan berbagai
kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, serta memaksimalkan implementasi
dari semangat keadilan gender dalam tiap jenjang struktur organisasi negara.
Ketiga, Menuntut keseriusan negara untuk mendukung setiap langkah dan upaya
dalam rangka mewujudkan negara yang bersih tanpa korupsi. Kami dengan ini juga
menyatakan dukungan pada kerja KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi serta
menentang segala bentuk pelemahan atasnya.
Keempat, Menuntut keseriusan negara untuk menggagas adanya Reforma Agraria,
serta menunjukkan keberpihakan pada masyarakat rentan yang tersingkir dan
mengalami kekerasan baik secara fisik maupun psikis akibat perubahan lingkungan
atas nama kemajuan industri.
Kelima, Menuntut keseriusan Negara untuk memberikan perlindungan,
penghormatan, serta pemenuhan terhadap hak atas berkeyakinan kepada setiap
warga Negara tak terkecuali atas kelompok-kelompok minoritas yang rentan
terhadap persekusi atas nama keyakinan dan agama.
Keenam, Menuntut keseriusan Negara untuk menghentikan segala tindakan
kekerasan dan kriminalisasi, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi
Manusia dalam proses tata kelola penyelenggaraan Negara. (HB17/Foto: ZA).
0 comments:
Post a Comment