Oleh Muhamad Khoirul Umam
Penulis adalah Lulusan S2 Pascasarjana IAIN
Walisongo Semarang.
Ditulis Minggu malam, tanggal 14 Desember
2014, pukul: 23: 04 WIB, di Negeri Cinta.
Malam semakin larut. Udara dingin menusuk kulit. Cengkerik-cengkerik
Gangsir bernyanyi sambil memainkan melodi khasnya di samping rumah Kang Maman.
Bahkan, kodok-kodok hijau gendut tak mau kalahnya, berdendang riang
bersahut-sahutan di sekitar pohon Mangga Arumanis. Gebyar ramai jutaan bintang
gemintang berpendar-pendar cahayanya, menghiasi petala langit biru yang
bersemburat jingga.
Semakin berusaha untuk mengatupkan kelopak matanya beberapa kali, maka
semakin sulitlah bagi Kang Maman untuk menuju ke dalam buaian alam mimpi yang
indah. Segala upaya untuk tidur telah dilakukan seperti membaca buku novel yang
tebalnya mencapai ratusan halaman hingga menulis beberapa artikel dan cerita
pendek (cerpen) telah dilakukan, namun tampaknya sia-sia belaka.
Langkah berikutnya yang dilakukan: Kang Maman menuju ke kamarnya untuk
mengambil buku teka-teki silang dan mengisi kolom-kolom mendatar dan menurun
yang belum terisi secara penuh, sambil mendengarkan lagu campursari—di mana
lirik-liriknya banyak diciptakan oleh Didi Kempot, sang maestro lagu jawa
kenamaan—yang terdengar dari radio kunonya.
Tiba-tiba, Kang Maman teringat dengan sobat karibnya, Kang Jarno, yang
berjarak berpuluh kilometer dari tempat kediamannya. Untuk mengatasi rasa suntuknya
tersebut, jari-jarinya dengan lincahnya memencet nomer hape temannya—yang
tinggal di daerah Karesidenan Surakarta, tepatnya di daerah sekitar Gunung
Kemukus, Sragen.
O ya, Kang Jarno adalah seorang guru di kampungnya yang terbiasa
menghadapi anak didiknya dengan sabar dan telaten. Kesabarannya emang telah
teruji. Ya, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa—yang berperan sangat
luarbiasa bagi maju-tidaknya sebuah negara.
Guru, bila ditilik dari akronimnya “digugu
lan ditiru” emang sebuah predikat yang berat dan tidak mudah
baginya untuk dijalani. Ia tidaklah hanya berlaku sebagai staf pengajar, namun
juga harus memainkan lakon sebagai pendidik bagi muridnya untuk menjadi pribadi
yang berkarakter kuat dengan kesantunan yang mengagumkan (beretika).
“Assalamu ‘alaikum, Kang Jarno. Halo, apa kabarnya?” kata Kang
Maman dengan suara jernihnya dengan intonasi dan aksen yang kuat, kental dengan
jawa Medoknya.
“Wa ‘alaikum salam, Kang Maman. I’m fine, thanks….” ujar Kang Jarno.
“What are you doing now?” tanya Kang
Maman.
“Ni sedang ngoreksi hasil ujian murid-muridku yang kemarin telah usai
menunaikan semester gasal. Kalo udah rampung, nilainya akan dimasukkan ke dalam
raport siswa. Beginilah, salah satu resiko dan tugas guru selalu nglembur,
hehehe,” kata Kang Jarno sambil tertawa renyah.
* * *
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, Kang Maman merenungkan ucapan
Kang Jarno dengan seksama. Pendidikan negeri ini emang selalu berkutat pada
guru, murid dan sistem. Sistem pendidikan dengan kurikulum apapun selalu
tergantung pada guru sebagai “dalang” untuk memainkan perannya sebaik mungkin.
Kurikulum 2013, atau bahkan kurikulum yang diperbarui tahun 2014,
kalaulah guru tidak bisa mengadaptasi dan menyampaikannya kepada anak didiknya
sebagus mungkin, maka akan jadi “muspro”
dan tak berarti apa-apa.
Selanjutnya, Kang Maman mengambil secarik kertas putih kuarto dan
menulis sepenggal lirik puisi:
Guru
Ingarso sung tuladha,
peran dan lakonmu itu ya?
Harapmu tinggi: muridmu bisa berprestasi dalam bidang apapun juga
Tanpa bintang jasa yang tersemat di dada, namun peranmu sungguh
luarbiasa
Siapapun berutang budi atas setiap huruf yang keluar dari mulutnya
Muridmu ingin: jadi selaksa makna dari dedikasimu yang tak terkira.
0 comments:
Post a Comment