Blora, Harianblora.com – Film Lari Dari Blora dikritik pemerhati film dari Semarang.
Menurutnya, film ini sangat bagus tapi secara angle dan konteks ada yang bias. Demikian
yang disampaikan Syikhu Lutfhi, Direktur Walisongo TV Semarang kepada
Harianblora.com, Minggu (21/12/2014). “Meskipun ini film, namun secara fakta
sejarah dan setting tempat kurang sesuai, karena terlalu banyak tempat yang
diambil tidak asli Blora, malah dari Jepara dan Pati,” ujarnya.
Film yang dirillis tahun 2007 dan populer sejak Februari 2008 ini
merupakan film yang dibintangi almarhum W.S Rendra dengan Annika Kuyper dan Ardina Rasti
yang disutradari Akhlis Suryapati. “Film ini kan mengangkat budaya Samin dan
ajarannya, seharusnya pengambilan film justru lebih ditekankan di Randublatung
Blora dan sekitarnya,” papar Dia.
Film yang mendatangkan sosok Cyntia dari Amerika ini, menurut Syaikhu
harus lebih menekankan khazanah budaya di Blora. “Sudah bagus karena mengangkat
potensi budaya Blora, namun lebih bagus lagi kalau fokus di Blora. Film yang
bagus itu ya yang orisinil, kalau tentang Blora ya fokus di Blora, bukan
melebar, kan segmentasinya budaya lokal, bukan film fiktif dan percintaan,”
jelasnya.
Syaikhu selaku pemerhati film juga menuturkan ada beberapa substansi
ajaran Samin yang bias dan harus diluruskan. “Beberapa tayangan ada beberapa
ajaran Samin yang kurang tepat, seharusnya ajaran Samin yang sebenarnya, mulai
dari awal di Blora dan perjalanannya sampai sekarang ditayangkan,” tandas
sineas muda tersebut.
Film ini, katanya, kan masuk kategori film cerita dan berbau dokumenter,
seharusnya justru lebih asli menayangkan khazanah Blora. “Mulai dari tempat,
tokoh yang dijadikan bahan syuting harus asli Blora,” bebernya.
Tapi, katanya, namanya saja Lari
Dari Blora, mungkin substansinya juga justru lari dari Blora. “Bukan
Blora asli, namun sempalan dari Jepara dan Pati, meskipun sejarah Samin juga
tidak terlepas dari beberapa kabupaten lain,” tandasnya.
Saya berharap, lanjutnya, ke depan jika ada sineas yang mau membuat
film harus asli jika mengangkat film cerita atau dokumenter. “Data-data yang
lain, Saya kira hanya pendukung, bukan utama. Orisionalitas dalam film harus
diutamakan, daripada sekadar untuk nggaya dan untuk menarik penontonm,” pungkas
akademisi jurusan Komunikasi Penyiaran tersebut. (Red-HB10/Foto:LDB).
0 comments:
Post a Comment