Blora, Harianblora.com – Warga Blora harus tahu, mengapa
selama ini di media massa, Blora selalu dipandang sebelah mata. Bahkan, menurut
salah satu PNS yang tidak mau disebutkan namanya, Blora adalah kota mati.
“Blora itu kota mati, sudah tidak dekat jalur Pantura, usaha di sini juga susah
dan tidak berkembang,” paparnya dengan tegas kepada Harianblora.com, Minggu (14/12/2014).
Senada dengan hal itu, Sukarji, salah satu pemerhati politik
asal Blora mengatakan Blora sebenarnya kaya, namun karena belum ada peran
strategis dari pemerintah, akhirnya potensi tersebut stagnan dan tidak
berkembang. “Saya pernah membaca satu artikel di Kompas berjudul Blora, Negeri
Kaya (tapi) Termiskin, intinya mendeskripsikan secara berbagai sudut pandang
yang menggambarkan kondisi Blora secara objektif,” ujarnya. Artikel yang dimuat
pada 30 April 2013 tersebut, menurutnya sangat ilmiah dan menjelaskan beberapa
potensi Blora yang mati.
Mari kita telusuri kekayaan Blora
Blora, merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang
berbatasan dengan Jawa Timur. Kabupaten yang sering disebut Kota Barongan ini
berdekatan dengan Kudus, Pati, Rembang dan Demak. Ia berada di ujung timur Jawa
Tengah yang memiliki luas 1.820,59 km².
Kabupaten yang menjadi pusat budaya dan penganut ajaran
Samin ini menjadi salah satu kabupaten penghasil kayu jati dan minyak bumi.
Mengapa? Sekitar 49, 66 persen wilayah di Blora adalah hutan jari. Di salah
satu Kecamatan di Blora, tepatnya di Blok Cepu, ada sekitar cadangan 250 juta
barel minyak bumi. Pada tahun 1899 sudah ada eksploitasi dan sejak ada beberapa
penjarahan kayu jati, menjadikan luas hutan jati di Blora mulai berkurang. Akan
tetapi, hal itu tidak mereduksi jumlah cadangan minyak bumi di Blora, dan hal
itu menurut beberapa peneliti tetap dinilai “menggiurkan” karena jumlah minyak
buminya memang luar biasa.
Simpelnya, Blora dikatakan sebagai kabupaten kaya karena
sumber daya alamnya yang unggul dan melimpah, yaitu minyak bumi dan kayu jati.
Namun ironisnya, karena permasalahan undang-undang, kekayaan itu hanya
menjadikan orang Blora menjadi “buruh” di negeri sendiri. Ya, sejak
diterapkannya UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menjadikan minyak bumi dan kayu jati
tersebut dikelola oleh Pemerintah Pusat. Praktis, Blora hanya mendapatkan
“turahan” dan sisanya saja, padahal lokasi dan letaknya di Blora.
Mengapa Blora Miskin?
Alasan logis bisa mendasari Blora sebagai kabupaten miskin
karena tidak bisa memiliki aset minyak bumi dan kayu jati sendiri. Pemerintah pusat
lah yang justru menikmati hal itu. Di sisi lain, mayoritas penduduknya adalah
petani, karena luas wilayah 40 persen adalah sawah. Kurang lebih seluar 72.502.33ha
adalah wilayah sawah. Lebih ironis lagi, 64.44 persen dari wilayah sawah itu
hanya sawah tadah hujan.
Blora merupakan negeri kaya tapi miskin. Hampir sama seperti
daerah lain di Kalimantan Timur, misalnya, sebagai salah satu daerah penghasil
minyak bumi tapi dikeruk dan dinikmati orang lain. Penjajahan dan pembodohan
menjadi motif yang harus dilawan, termasuk pembodohan di Blora yang merugikan
masyarakat.
Sama seperti di Kalimantan Timur, di sana menjadi penghasil
minyak bumi tapi juga miskin. Bahkan, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, pada
tahun 2012, mengaku meskipun Indonesia sudah merdeka 65 tahun pada saat itu,
daerahnya belum pernah mampu membangun, apalagi di bidang insfrastruktur. Maka,
yang paling penting dari hal itu, daerah yang ada minyak buminya harua
dillindungi dengan undang-undang.
Lucu dan enah. Lebih ironis lagi, pada tahun 2011, Produk
Domestik Regional Daerah (PDRD) per kapita Blora hanya sebesar Rp5,9juta. Tepatnya,
PDRD pada tahun 2011 menduduki peringkat ke-33 dari 35 kabupaten di Jawa
tengah. Intinya, PDRD itu membuktikan lebih jauh dari PDRD perkapita di wilayah
kabupaten/kota di Jawa Tengah, pada tahun 2011 seebesar Rp15,4 juta. Maka, inti
dari data itu, pada tahun 2011, masyarakat Blora adalah termiskin ketiga di
Jawa Tengah.
Lalu, bagaimana di tahun 2014 sampai 2015 nanti? Intinya tetap
sama, karena belum ada regulasi berkaitan dengan UU Perminyakan dan kayu jati. Meskipun
masyarakat sudah agak maju pendidikannya, karena rata-rata pelajar yang lulus
SMA di Blora saat ini mulai kuliah, namun hal itu tidak mempengaruhi PDRD
perkapita di Blora.
Ketua Gerakan Pemuda Nusantara
(GPN) Cabang Blora Ahmad Fauzin mengatakan hal itu tidak bisa ditampik. “Kita
harus mengakui bahwa Blora ini dijajah dari dulu. Maka kita pun harus mengakui
juga kalau Blora itu kota mati dan miskin. Solusinya, secara regulatif, pemerintah
Blora lah yang harus mengeluarkan Blora dari belenggu kemiskinan. Kita sebagai
pemuda, mengawal dan mengritisi serta bekerja dan belajar sesuai jobnya
masing-masing,” ujarnya.
Prinsipnya, kata Dia, kemiskinan
itu musah negara, maka tugas utama itu di pemerintah. Sudah seharusnya,
pemerintah membuat perkembangan dengan menghidupkan ekonomi desa, membantuk
sektor pertanian, perdagangan, membantu usaha-usaha kecil menangah. “Pola pikir
masyarakat juga harus tidak melulu menjadi PNS, yang paling itu bekerja, apa
pun itu,” katanya. (Laporan khusus Redaksi Harianblora.com).
Baca juga: Masyarakat Blora Nilai Kabupaten Blora Sudah Maju.
Baca juga: Masyarakat Blora Nilai Kabupaten Blora Sudah Maju.
0 comments:
Post a Comment